Sejarah Silsilah dan Biografi Dr. Soetomo – Biografi Dokter Sutomo Sang pendiri Budi Utomo Soetomo lahir di desa Ngepeh Kecamatan Loceret Nganjuk Jawa Timur pada tanggal 30 Juli 1888 dengan nama kecil Subroto. Ayahnya Raden Suwaji adalah seorang priyayi pegawai pangreh yang maju dan modern. Sutomo termasuk anak yang beruntung karena dibesarkan dalam keluarga yang terhormat, berkecukupan dan cukup dimanja terutama oleh sang kakek dan neneknya. Garis dari ayah Soetomo adalah putra dari Raden Suwaji yakni seorang bangsawan yang berkedudukan sebagai wedana di Maospati Madiun. Menikah dengan Soedarmi Soewadjipoetro Raden Suwaji adalah putra dari Raden Ngabei Singowidjoyo atau Kyai Haji Abdurrakhman yakni tokoh masyarakat yang dihormati dan berpengaruh di Nganjuk.
Di usia delapan tahun Subroto atau Sutomo dititipkan oleh kedua orang tuanya kepada pamannya yang bernama Ardjodipuro. Oleh pamannya tersebut ia didaftarkan sekolah di ELS Bangil namun Subroto tidak diterima, tetapi pamannya tidak patah semangat dan keesokan harinya, pamannya mendaftarkan kembali ke ELS dan atas keinginannya sendiri untuk menyekolahkannya akhirnya diterima, namun namanya berubah dari yang awalnya Subroto menjadi Sutomo. Selesai menempuh pendidikan di ELS, Sutomo dihadapkan pada 2 pilihan. Ayahnya Raden Suwaji menginginkan Sutomo masuk ke STOVIA sebagai dokter, sedangkan sang kakek menginginkannya menjadi pangreh Praja hal tersebut cukup menyita pikirannya namun hati kecil Sutomo memiliki keinginan masuk sekolah kedokteran karena baginya pekerjaan pangreh Praja hanya disuruh-suruh Belanda. akhirnya melalui perenungan panjang Sutomo dengan tegas menolak jabatan pangreh Praja.
Sutomo resmi menjadi siswa di stovia pada tanggal 10 Januari 1903 Saat itu usianya genap 15 tahun. Pada awal masa pendidikannya, Sutomo dikenal sebagai sosok yang berani, cerdas, malas belajar dan suka mencari masalah.
Kondisi tersebut membuat hasil belajar Sutomo kurang memuaskan pada tahun-tahun awal di STOVIA. Namun sikap Sutomo berubah drastis ketika memasuki tahun ketiga pendidikannya. Dirinya menjadi begitu serius dalam belajar bahkan perilakunya menunjukkan banyak perubahan.
di salah satu mata kuliah aljabar dirinya bisa menyelesaikan soal dengan sempurna, padahal tidak ada satupun teman kelasnya yang bisa menjawab. Perubahan sikap dan pandangan hidup Sutomo ke yang lebih baik semakin nyata, saat dirinya mengetahui bahwa ayahnya meninggal dunia pada 28 Juni 1907. Sejak itu Sutomo menjadi sosok yang memiliki jiwa sosial tinggi, peduli pada lingkungan sekitarnya dan peduli pada negara mulai tumbuh. Saat itulah Sutomo berjumpa dengan Dokter Wahidin Sudirohusodo yang merupakan alumni STOVIA. Dokter Wahidin saat itu berkunjung ke STOVIA dan bertemu dengan para mahasiswa seperti Soetomo.
Dalam pertemuan itu, Dokter Wahidin mengemukakan gagasannya untuk mendirikan organisasi yang menjadi wadah untuk mengangkat derajat bangsa. Gagasan Dokter Wahidin itu ditangkap dan terus direnungkan oleh Soetomo. Sutomo juga mendapat pengaruh dari dokter Douwes Dekker yang telah mengeluarkan surat kabar yang berisi tentang penyerangan terhadap Hindia Belanda yang bertindak sewenang- wenang terhadap kaum pribumi. Yang mendorong dan mempercepat timbulnya Pergerakan Nasional. Akhirnya, Sutomo bersama dengan mahasiswa lainnya seperti Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji Tirtonegoro secara Intens melakukan diskusi.
Hingga akhirnya, Sutomo dan dua orang itu mengadakan pertemuan dengan mahasiswa STOVIA lainnya untuk membahas pendirian organisasi. Pertemuan dilakukan di ruang anatomi STOVIA, dan menghasilkan pendirian organisasi bernama Budi Utomo yang mengandung arti Budi yang utama, dan Sutomo sebagai ketuanya. Maka Budi Utomo berhasil didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Hal tersebut menjadi tonggak pergerakan politik Sutomo melawan Pemerintah Hindia-Belanda. Tanggal itu hingga kini diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Dalam waktu singkat Budi Utomo telah memiliki banyak anggota dan cabang-cabang yang berada di Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Magelang. Budi Utomo juga telah Mengadakan kongres yang pertama yakni pada tanggal 3 okt 1908, dan dibuka secara resmi oleh Raden Adipati Ario Tirtokusumo sebagai ketuanya. Dokter Sutomo menyelesaikan studinya di STOVIA pada tahun 1911. Sejak saat itu Sutomo resmi menjadi dokter dan dalam pengabdiannya sebagai dokter dirinya mulai bertugas di Semarang, Tuban, Lubukpakam Sumatera Timur dan beberapa kota lainnya. Sutomo juga tercatat sebagai salah satu tenaga medis yang menangani wabah PES di Malang.
Dalam pengabdiannya menjalankan tugas mengobati rakyat, Sutomo tidak pernah memungut biaya pengobatan. Dengan berkeliling daerah, membuat Sutomo semakin sedih melihat kondisi rakyat Indonesia. Jiwanya panas dan hatinya terluka, melihat bangsanya sengsara karena Belanda. akhirnya Sutomo memilih untuk mendermakan hidupnya membantu kesehatan masyarakat hingga ia diperbantukan di rumah sakit Blora Jawa Tengah. Rumah sakit Blora merupakan rumah sakit zending yang pada tahun 1917 pemerintah Hindia Belanda menyebutnya Rumah Sakit Umum Zending Blora.
Imbasnya adalah Sutomo sedikit renggang dengan kegiatan organisasinya. Di rumah sakit Blora Inilah, dokter Sutomo berkenalan dengan Everdina Bruring. Pertemuan mereka, bermula ketika Dokter Sutomo menjemput Everdina di Stasiun Blora untuk pembantunya bertugas. Kedatangan Everdina Bruring ke Hindia Belanda adalah untuk menghibur diri setelah kematian suaminya terdahulu. Dokter Sutomo pun mulai memahami kesedihan Everdina.
Akhirnya Dokter Sutomo mempersunting Seorang perawat bernama Everdina Bruring. Everdina menjadi perempuan penting dalam hidup Sutomo, meski berdarah Belanda everdina tidak pernah menghalangi Dokter Sutomo melawan politik kolonial bangsanya. Bahkan tak jarang Everdina membantu Dokter Sutomo menyusun strategi melawan Belanda. Merekapun menikah pada tahun 1917 Namun ternyata pernikahan tersebut tidak direstui oleh kakak Everdina.
Pada tahun 1919 Dokter Sutomo mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi spesialis kedokteran di Universitas Amsterdam.
maka ia beserta istrinya pindah ke Belanda. Selama kuliah di Belanda Dr Soetomo ikut berkegiatan di Indische Vereeniging. Dokter Sutomo juga sempat dipilih menjadi ketua Indische Vereeniging. Sekembalinya di tanah air yakni tahun 1923 Ia melihat kelemahan yang ada pada organisasi Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik, karena itu ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.
Sepulangnya dari Belanda Dokter Sutomo bekerja sebagai guru dokter atau dosen ilmu penyakit kulit dan kelamin di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), di Surabaya. Keduanya tetap merasakan bahagia meski tak dikaruniai anak. Pada tahun 1924 Dokter Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC). Yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi dan sebagainya.
Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia atau PBI, dibawah pimpinannya PBI berkembang pesat. Sementara itu, tekanan dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu, Januari 1934 dibentuklah komisi Budi Utomo, Persatuan Bangsa Indonesia yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus besarnya pada pertengahan tahun 1935 untuk berfusi.
Nyonya Dokter Sutomo atau Everdina jatuh sakit karena ketidakcocokan udara di Surabaya yang sangat panas, dan beristirahat di daerah sejuk Celaket di lereng gunung Penanggungan Malang. Meski sakit, Nyonya Dr Soetomo masih aktif Di kegiatan sosial di Malang.
Dan di sela-sela kesibukannya, Dokter Sutomo secara rutin dua minggu sekali menjenguknya. Pada tanggal 17 Februari 1934 Jam 09.10 pagi Nyonya Dokter Sutomo yakni Everdina menghembuskan Nafas Terakhir di pangkuan sang suami. dan dimakamkan di Kompleks makam kembang kuning Surabaya. Pengabdian Everdina yang tulus selama ini membuat Sutomo semakin cinta kepada istri sampai akhir hayatnya.
Di mata Sutomo sang istri adalah perempuan pujaannya, tugas harian seperti memasak, mencuci dan sebagainya rela dilakukan, bahkan di waktu-waktu libur Everdina selalu menyiapkan keperluan logistik di rumah, karena Sutomo sering mengadakan rapat organisasinya di rumah. Hanya Everdina lah satu-satunya perempuan yang singgah dihati Sutomo dan membuat Sutomo tidak pernah berniat sedikitpun untuk menikah lagi. Kongres peresmian difusi dan juga merupakan kongres terakhir Budi Utomo melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA.
Berlangsung tanggal 24-26 Desember 1935 Dokter Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra merupakan gabungan dari organisasi-organisasi pergerakan seperti Budi Utomo Paguyuban Pasundan Serikat Betawi Serikat Ambon Serikat Minahasa Sumatranen Bond dan Persatuan Bangsa Indonesia.
Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka. Dokter Sutomo banyak membantu rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka Namun sayangnya, Dokter Sutomo tidak sempat menyaksikan bangsa merdeka dan terbebas dari penjajah. Pada tanggal 30 Mei 1938 pukul 16.30 Dokter Sutomo meninggal dunia karena sakit. Dia dimakamkan di halaman Gedung Nasional Surabaya.
yakni di Bubutan Surabaya. Seluruh penduduk kota Surabaya tumpah ruah di Jalan Bubutan bahkan jalan-jalan itu pun berubah menjadi lautan manusia, suara dzikir berdengung dari lisan ribuan pelayat yang mengantar kepergian Putra Bangsa terbaik.
Untuk mengenang jasa-jasanya Dokter Sutomo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 27 Desember 1961. Yakni berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 657 tahun 1961. Kontroversi Pada bulan Mei 2013 Setelah sekian lama meninggalnya Dokter Sutomo, dikejutkan dengan munculnya nama Isahtiningsih, yang saat itu berusia 73 tahun, yang mengaku sebagai anak tunggal Dokter Sutomo dari hasil pernikahannya yang kedua dengan ibunya yang bernama Musni Binti Ngadri.
Menurut pengakuan Isahtiningsih, setelah meninggalnya Everdina Bruring istri Dokter Sutomo yang berasal dari Belanda, Dr Soetomo menikah lagi dengan ibunya yakni wanita bernama Musni yang berasal dari Bareng Jombang, Jawa Timur. Pada tahun 1935.
Dari pernikahan tersebut, pada tanggal 8 April 1937 lahirlah Isahtiningsih atau Isah dan tinggal di Jalan Kenari Surabaya. Isah mengaku bahwa ia adalah anak satu-satunya dokter Sutomo, karena dari pernikahan sebelumnya, Dokter Sutomo memang tidak dikaruniai keturunan. Saat Dokter Sutomo meninggal, usia Isahtiningsih baru 13 bulan dan ibunya memutuskan untuk pindah dan membawa Isah tinggal di Jalan Genteng Bandar Gang Satu nomor 2 Surabaya.
Isahtiningsih sekarang sudah memiliki enam orang anak yakni Yuswatiningsih, Basuki Tri Susilo Eni Yani dan Heri. Yuswatiningsih adalah salah satu putri dari Isahtiningsih, yang mengaku sebagai anak satu-satunya dari perkawinan Dokter Sutomo dengan Musni yang saat itu masih berusia 14 tahun, sebagai pembantu yang dinikahi Dokter Sutomo setelah istri pertamanya yang berkebangsaan Belanda meninggal dunia. Saat Isahtiningsih berusia 13 bulan, Dokter Sutomo meninggal dunia karena sakit berbagai bukti legal seperti keterangan kepala desa yakni pernyataan dari Kepala Desa Bareng, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang bahwa Dokter Sutomo dan istrinya Musni pernah tinggal disana pada tahun 1935. Hingga dokumen akte kelahirannya telah disodorkan. Yuswatiningsih juga menyertakan beberapa keterangan dari warga desa itu bahwa pendiri Yayasan Pendidikan Budi Utomo itu pernah memiliki anak bernama Isahtiningsih ibunda Yuswatiningsih.
Fakta itu dibantah oleh keluarga ahli waris sah Dokter Soetomo, dengan asumsi bahwa Dokter Sutomo yang masih keturunan Darah Biru tidak mungkin menikahi seorang pembantu dari kalangan masyarakat biasa.
Keluarga Habimono yang merupakan anak dari adik Dokter Sutomo yang bernama Siti Sundari mengakui bahwa Dokter Sutomo hanya menikah sekali seumur hidupnya Yakni dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 69 PK/AG/2008. Selama ini pemerintah tidak pernah mengakui keberadaan keluarga keturunan Dr Soetomo tersebut. Mereka sudah berupaya menempuh jalur hukum sejak 15 tahun lalu namun kabar terakhir bahwa keputusan dari Mahkamah Agung adalah mereka tetap kalah artinya pemerintah tetap tidak menganggap keluarga ini sebagai keturunan Dokter Sutomo.